Duduk Iftirasy Atau Tawarruk Dalam Shalat Yang Hanya Dua Raka'at?.
Friday, November 29, 2019
Add Comment
Contoh duduk Iftirasy dan Duduk Tawarruk. |
Pembaca budiman, Bimbingan serta Ridha-Nya semoga selalu tercurah dan mengiringi kita dalam segala aktivitas di dunia ini untuk meraih kebahagiaan dan mengharap Rahmat-Nya di Akhirat kelak. Aamiin...
Ada pertanyaan yang muncul dari beberapa pembaca yang terkait tentang duduk tasyahud untuk shalat wajib atau sunnah yang hanya berjumlah dua rakaat. Karena pembaca pernah melihat sebagian umat Islam yang ketika shalat sunnah atau wajib (Shubuh) yang hanya dua raka'at, duduk tasyahudnya Iftirasy. Tetapi penanya mengasumsikan mungkin ini adalah perbedaan pendapat antar Mazdhab saja.
Penanya menanyakan apakan boleh mencampur adukkan misalnya :
Sesekali kita duduk dengan Iftirasy dan di lain waktu kita duduk dengan Tawarruk.
Dan memohon untuk memberikan kesimpulan dari jumhur ulama alasan yang lebih kuat yang mana apakah duduk Iftirasy atau Tawarruk untuk jenis sholat ini.
Dan memohon untuk memberikan kesimpulan dari jumhur ulama alasan yang lebih kuat yang mana apakah duduk Iftirasy atau Tawarruk untuk jenis sholat ini.
Untuk jawabannya marilah kita ikuti kajian di bawah ini :
Benar sekali seperti yang penanya asumsikan bahwa sebenarnya hal tersebut adalah hanya sekedar perbedaan di kalangan para ulama Mazdhab yang 4 (empat). Khususnya dalam hal ini Mazdhab Hanbali, dimana untuk shalat yang hanya terdiri dari satu tasyahud, duduknya bukan Tawarruk melainkan Iftirasy.
Pengertian Iftirasy kita sudah sama-sama tahu bahwa itu adalah posisi duduk yang biasanya kita lakukan ketika duduk tahiyat awal atau duduk diantara dua sujud. Sedangkan duduk Tawarruk adalah duduk sebagaimana umumnya pada duduk tahiyat akhir, yang posisi tubuhnya agak sedikit miring.
Pertanyaan selanjutnya Bolehkan di campur?
Jawabannya antara boleh dan tidak boleh. Dibolehkan dicampur tetapi dengan beberapa syarat. Diantaranya adalah memiliki :
a). Mempunyai sandaran ilmu yang shaheh dari masing-masing Mazdhab.
Contoh apabila seseorang sudah belajar kedua Mazdhab yang berbeda dengan kelengkapan dalil-dalil dan rincian kajian ilmunya, maka pada dasarnya dia dapat membandingkan dengan tepat tanpa keliru antara keduanya. Dan kalau dia memandang keduanya itu sama-sama benar dan posisinya seimbang, maka boleh-boleh saja sesekali memakai madzhab ini dan dilain waktu memakai madzhab itu. Tetapi kedua-duanya harus dikuasai dengan valid dan benar.
Tetapi sebaliknya bagi orang yang awan dan baru saja belajar dari satu mazdhab, misalnya hanya mengaji lewat mazdhab Asy Syafi'iyah semata, sementara untuk madzhab Hanbali dia sama sekali awan dan tidak punya ilmu yang cukup, maka hukumnya tidak boleh mencampur aduk atau pindah-pindah madzhab seenaknya.
Sebagai ilustrasi sederhana, untuk bisa naik kepuncak gunung Dieng atau Merapi ada bebera rute pendakian yang berbeda. Bila seseorang hanya tahu satu rute dan tidak tahu rute-rute lainnya, sebaiknya dia tidak usah bergaya mengambil rute yang tidak diketahuinya. Sebab akibatnya akan menjadi fatal dan yang pasti akan tersesat di jalan.
Lain halnya dengan seorang pakar pendaki gunung yang sudah ratusan kali mendaki lewat beberapa rute yang berbeda. Baginya semua rute itu telah dihafalnya di luar kepala. Inipun dia tetap tidak boleh lengah dan sombong dalam melakukannya.
b). Sebaiknya bila pindah harusnya dari dan ke madzhab yang sama kuat.
Pindah pilihan dari mazdhab yang satu kepada mazdhab yang lain, itu minimal harus seimbang keshahehannya. Jangan sampai kita tinggalkan satu pendapat dari satu mazdhab yang amat kuat untuk mendapatkan pendapat dari mazdhab yang lemah dalilnya.
Jika meninggalkan dari apa yang telah disepakati oleh empat mazdhab berpindah ke pendapat yang sama sekali tidak direkomendasikan oleh mazdhap manapun, tentu hal ini sangat konyol.
c). Ada kepentingan yang sangat mendesak.
Diperbolehkannya berpindah-pindah ini, juga kalau memang ada keperluannya. Misalnya karena tidak memungkinkan untuk memakai satu mazdhab saja, sementara ada mazdhab lain yang dapat memberi solusi. Seperti masalah batalnya wudhu jika suami bersentuhan dengan istri, ketika di tengah kerumunan jama'ah haji di Ka'bah, maka kita cari solusi dengan madzhab yang menganggap tidak batal apabila kita bersentuh dengan pasangan atau suami istri.
Rincian Pendapat Dari Empat Mazdhab Terkait Dengan Duduk Tahiyat Akhir.
Duduk tasyahud akhir merupakan rukun shalat menurut jumhur ulama dan hanya kewajiban menurut Al-Hanafiah.
1. Mazdhab Al-Hanafiyah.
Menurut Al-Hanafiyah posisi duduk tasyahud akhir sama dengan duduk antara dua sujud (yaitu duduk Iftirasy) bila kita dalam shalat yang dua raka'at.
Al-Kasani ulama mazdhab Al-Hanafi (tahun 587 H.), menulis dalam kitabnya Badai'u Ash-Shanai sebagai beriut :
Adapun duduknya merurut sunnah adalah dengan meng-iftirasykan kaki kiri, dalam posisi duduk dan duduk diatas telapak kaki kirinya dan menegakkan jemari kaki kanannya.(1). Contoh duduk iftirasy :
Ibnul Human ulama madzhab Al-Hanifayah (tahun 861 H) juga menuliskan dalam kitabnya Fathul Qadir sebagai brikut :
Pindah pilihan dari mazdhab yang satu kepada mazdhab yang lain, itu minimal harus seimbang keshahehannya. Jangan sampai kita tinggalkan satu pendapat dari satu mazdhab yang amat kuat untuk mendapatkan pendapat dari mazdhab yang lemah dalilnya.
Jika meninggalkan dari apa yang telah disepakati oleh empat mazdhab berpindah ke pendapat yang sama sekali tidak direkomendasikan oleh mazdhap manapun, tentu hal ini sangat konyol.
c). Ada kepentingan yang sangat mendesak.
Diperbolehkannya berpindah-pindah ini, juga kalau memang ada keperluannya. Misalnya karena tidak memungkinkan untuk memakai satu mazdhab saja, sementara ada mazdhab lain yang dapat memberi solusi. Seperti masalah batalnya wudhu jika suami bersentuhan dengan istri, ketika di tengah kerumunan jama'ah haji di Ka'bah, maka kita cari solusi dengan madzhab yang menganggap tidak batal apabila kita bersentuh dengan pasangan atau suami istri.
Rincian Pendapat Dari Empat Mazdhab Terkait Dengan Duduk Tahiyat Akhir.
Duduk tasyahud akhir merupakan rukun shalat menurut jumhur ulama dan hanya kewajiban menurut Al-Hanafiah.
1. Mazdhab Al-Hanafiyah.
Menurut Al-Hanafiyah posisi duduk tasyahud akhir sama dengan duduk antara dua sujud (yaitu duduk Iftirasy) bila kita dalam shalat yang dua raka'at.
Al-Kasani ulama mazdhab Al-Hanafi (tahun 587 H.), menulis dalam kitabnya Badai'u Ash-Shanai sebagai beriut :
Adapun duduknya merurut sunnah adalah dengan meng-iftirasykan kaki kiri, dalam posisi duduk dan duduk diatas telapak kaki kirinya dan menegakkan jemari kaki kanannya.(1). Contoh duduk iftirasy :
Contoh duduk Iftirasy. |
Dan posisi duduk tahiyat akhir seperti posisi duduk tahiyat awal, sebagaimana kami riwayatkan dari hadits Wail dan Aisyah. Dan posisi itu lebih enak buat badan, juga lebih utama dari duduk tawarruk yang menjadi pilihan Imam Malik. (2).
Keterangan : Perbedaan cara duduk tasyahud, menurut pendapat Imam masing-masing.
a). Gambar sebelah kiri adalah duduk tahiyat akhir dalam shalat dua raka'at, menurut pendapat mazdhab Hanafiyah.
b) Gambar sebelah kanan adalah duduk tahiyat akhir shalat dua raka'at, menurut pendapat mazdhab Imam Asy-Asyafi'iyah.
Dasar di atas, fatwa ini adalah hadits sebagai berikut :
Dari Wail Ibnu Hajar, aku datang ke Madinah untuk melihat shalat Rasulullah swa. ketika Beliau duduk (tasyahhud) Beliau dudut iftirasy dan meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya dan menashabkan atu menegakkan jari kakinya yang kanan. (Hadits Tirmidzi). (seperti contoh gambar di atas sebelah kiri)
2. Mazdhab Al-Malikiyah.
Adapun Al-Malikiyah sebagaimana diterangkan di dalam kitab Asy Syarhu Ash Shaghir menyunnahkan untuk duduk tawarruk baik pada tasyahud awal maupun untuk tasyahud akhir. Dalilnya adalah hadits Nabi :
"Dari Ibnu Mas'ud berkata bahwa Rasulullah SAW. duduk ditengah shalat dan di akhir shalat duduknya dengan duduk tawarruk".
3. Mazdhab Imam Asy Asyafi'iyah.
Sedangkan jumhur ulama menetapkan bahwa posisi duduk tasyahud akhir adalah duduk tawarruk. Posisinya hampir seperti duduk iftirasy tetapi telapak kaki kiri tidak diduduki melainkan dikeluarkan ke bawah kaki kanan. (sebagaimana contoh dalam gambar di atas sebelah kanan). Sehingga duduk di atas tanah dan tidak lagi duduk di atas telapak kaki kiri. (sebagaimana contoh dalam gambar di atas sebelah kiri).
Asy Syafi'iyah dan Al-Hanabilah sama-sama berpendapat bahwa duduk tasyahud akhir, yang disunnahkan adalah duduk tawarruk.
Namun keduanya berbeda pendapat ketika bicara tentang duduk tasyahud akhir untuk shalat yang dua raka'at dan tidak ada tasyahud awalnya, seperti shalat Shubuh, shalat Jum'at, shalat Witir saturaka'at, shalat Dhuha, shalat Idul Fitri dan Idul Adha, serta umumnya shalat sunnah yang lainnya.
Pertanyaannya apakah duduknya Tawarruk atau Iftirasy?.
Mazdhab Asy Syafi'iyah berpendapat bahwa duduk pada saat tasyahud akhir baik yang memiliki dua raka'at maupun yang hanya memiliki satu tasyahud, maka semuanya dilakukan dengan duduk tawarruk. Mereka berdalil kepada hadits Abu Humaid As-Sa'idi beliau berkata sebagai berikut :
"Aku adalah orang yang paling hafal shalatnya Rasulullah saw diantara kalian. Aku melihat Beliau apabila takbir, maka beliau mensejajarkan tangannya dengan kedua pundaknya, apabila beliau ruku' maka beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya, kemudian beliau meluruskan punggungnya, dan apabila beliau bangun dari ruku' maka beliau berdiri tegak hingga tulang punggungnya kembali ketempat asalnya, apabila beliau sujud, maka beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan juga tidak meletakkan (pada lambungnya) serta beliau menghadapkan jari-jari kaki beliau ke arah kiblat, abila duduk pada raka'at kedua, maka beliau duduk di telapak kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk Iftirasy), dan ababila beliau duduk pada raka'at terakhir, maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya serta beliau duduk diatas tempat duduknya (lantai) bukan duduk diatas telapak kaki kirinya. (duduk iftirasy)". (HR. Al-Bukhari).
Imam Nawawi, rahimahullah berkata : Imam Syafi'i dan para sahabat kami berkata :
"Hadits Abu Humaid jelas membedakan antara dua duduk tasyahud, sedngkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang mutlaq, maka wajib dibawakan sesuai dengan hadist ini. (hadits Abu Humaid). Barangsiapa yang meriwayatkan duduk tawarruk maka yang dimaksud adalah duduk tasyahud akhir. Dan barangsia yang meriwayatkatn duduk iftirasy maka yang dimaksud adalah duduk tasyahud awal, dan harus diadakan penggabungan (al-jam'u) antara hadits-hadits yang shaheh, terlebih hadits Abu Humaid As-Sa'idi ini telah disetujui oleh sepuluh orang pembesar (para sahabat radiyallahuanhum)" (3).
Hadits Abu Humaid ini, juga datang dengan lafadzh-lafadzh lain yang semakin memperkuat pendapat Madzhab Asy Asyafi'iyah ini. Diantaranya sebagai berikut :
"Hingga tatkala sampai pada sujud terakhir, dan duduk yang ada salamnya, maka Nabi SAW. mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk dengan tawarruk di atas sisi kiri kaki beliau". (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Keterangan hadits yang lain adalah :
"Hingga tatkala pada sampai sujud yang merupakan penutup shalat, maka beliau mengangkat kepalanya dari dua sujud tersebut dan beliau mengeluarkan kakinya serta duduk tawarruk di atas kakinya". (lantai). (HR. Ibnu Hibban)
Dari keterangan lainnya juga ada yang menerangkan sebagai berikut :
"Apabila sampai pada raka'at terakhir yang menutup shalat, maka beliau Nabi SAW. mengeluarkan kaki kirinya dan beliau SAW, duduk tawarruk di atas sisinya kemudian beliau salam". (HR. An-Nasa'i).
Imam Nawawi, rahimahullah berkata : Imam Syafi'i dan para sahabat kami berkata :
"Hadits Abu Humaid jelas membedakan antara dua duduk tasyahud, sedngkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang mutlaq, maka wajib dibawakan sesuai dengan hadist ini. (hadits Abu Humaid). Barangsiapa yang meriwayatkan duduk tawarruk maka yang dimaksud adalah duduk tasyahud akhir. Dan barangsia yang meriwayatkatn duduk iftirasy maka yang dimaksud adalah duduk tasyahud awal, dan harus diadakan penggabungan (al-jam'u) antara hadits-hadits yang shaheh, terlebih hadits Abu Humaid As-Sa'idi ini telah disetujui oleh sepuluh orang pembesar (para sahabat radiyallahuanhum)" (3).
Hadits Abu Humaid ini, juga datang dengan lafadzh-lafadzh lain yang semakin memperkuat pendapat Madzhab Asy Asyafi'iyah ini. Diantaranya sebagai berikut :
"Hingga tatkala sampai pada sujud terakhir, dan duduk yang ada salamnya, maka Nabi SAW. mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk dengan tawarruk di atas sisi kiri kaki beliau". (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Contoh Duduk Tawarruk. |
"Hingga tatkala pada sampai sujud yang merupakan penutup shalat, maka beliau mengangkat kepalanya dari dua sujud tersebut dan beliau mengeluarkan kakinya serta duduk tawarruk di atas kakinya". (lantai). (HR. Ibnu Hibban)
Dari keterangan lainnya juga ada yang menerangkan sebagai berikut :
"Apabila sampai pada raka'at terakhir yang menutup shalat, maka beliau Nabi SAW. mengeluarkan kaki kirinya dan beliau SAW, duduk tawarruk di atas sisinya kemudian beliau salam". (HR. An-Nasa'i).
4. Mazdhab Al-Hanabilah.
Mazdhab Hanbali berpendapat bahwa untuk shalat yang hanya memiliki satu tasyahud maka duduknya adalah duduk Iftirasy. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qadamah rahimahullah : "Dan tidaklah dilakukan duduk tawarruk kecuali pada shalat yang memiliki dua tasyahud, yaitu pada tasyahud yang kedua". (4).
Mereka berdalil dari beberapa hadits diantgaranya hadits Aisyah r.anha sebagai berikut :
"Adalah Rasulullah SAW. apabila duduk pada raka'at beliau menghamparkan kaki yang kiri dan menegakkan jari kaki yang kanan".(duduk iftirasy) (HR. Ibnu Hibban).
Dan ada juga dari Wail bin Hujr, r.a sebagai berikut :
"Aku melihat Rasulullah SAW ketika duduk dalam shalat beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan jari kaki kanannya." (duduk iftirasy). (HR. Ibnu Khuzaimah).
Kesimpulan bagi yang memang sudah melakukan dengan Mazdhab Imam Syafi'i, maka lakukanlah dengan apa yang beliau beri keterangan yaitu duduk Tawarruk ketika kita shalat yang hanya dua rakaat. Baik itu shalat wajib (Shubuh) atau shalat sunnah lainnya.
Namun jika ada hal yang memang mengharuskan dikarenakan ada halangan yang susah dihindari maka dapat dilakukan dengan duduk Iftirasy.
Demikian uraian singkat tentang Duduk Iftirasy atau Tawarruk dalam shalat yang hanya dua raka'at. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita dalam mengamalkan agama dengan baik dan benar. Wallahu 'alam bishawab.
Catatan kaki :
(1). Al Kasani Bada'iu Ash-Shana'i, jilid 1 halaman 211.
(2). Ibnul Humam, Fathul Qadir, jilid 1 halaman 316.
(3). Al-Nawawi, Al-Maju' Syarh, Al-Muhadzdzab, jilid 3 halaman 413.
(4). Ibnu Qadamah, Al-Mughni, jilid 2 halaman 227.
0 Response to "Duduk Iftirasy Atau Tawarruk Dalam Shalat Yang Hanya Dua Raka'at?."
Post a Comment